Jumat, 25 Desember 2015
ketum pwm jateng 2015-2020
Musyawarah Wilayah (Musywil) Muhammadiyah ke -47 yang berlangsung di Kabupaten Kudus akhirnya menatapkan Drs. Tafsir. M.Ag, sebagai ketua Pimpinan Wilayah Jawa Tengah periode Muktamar ke -47. Berdasarkan hasil perhitungan suara , tokoh Muhammadiyah yang konsisten memperjuangkan pluralisme dan hak kelompok minoritas , Drs. Tafsir .M.Ag. mendapatkan suara paling tinggi yakni 1.046 suara. .
Berdasarkan laporan Reporter Musywil Muhammadiyah dan Aisyiyah Ke-47 Radio Suara Anda FM Klaten, Ardhi Raihan, Sidang pleno panitia pemilihan pimpinan wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah yang berlangsung di Kudus telah menetapkan penerima Maarif Award tahun 2008 ini sebagai pengganti Musman thalib yang telah selesai masa jabatannya, dengan perolehan suara tertinggi yaitu 1.046..
Beliau merupakan sosok yang sangat konsisten dalam memperjuangkan ide ide progresif di dalam tubuh Muhammadiyah, meski secara organisasional masih sulit diterima. Disamping memiliki radius pergaulan lintas agama yang luas, ia tidak ragu untuk berinteraksi bahkan terlibat intens dengan kelompok-kelompok marginal seperti kelompok waria, korban narkoba, dan penderita schizophrenia.
“Sebenarnya ini merupakan amanah terberat yang saya terima untuk memimpin Muhammadiyah Jawa Tengah lima tahun depan, meski demikian saya berniat untuk mengemban amanah untuk Muhammadiyah pada periode ini ”katanya, Minggu 20/12/2015. (Laporan Ardhi Raihan)
menghidupkan sunah nabi
Menghidupkan Sunnah Nabi yang Kian Terasing
Dahulu Rasulullah pernah mewasiatkan
umatnya agar berpegang dengan kuat pada ajaran (Sunnah) beliau. Namun kini
umatnya lebih banyak yang meninggalkan ajaran nabinya, meski di sana menanti
adzab yang keras dari Allah.
Sunnah Nabi, sebuah istilah yang kerap
kita mendengarnya. Bahkan sering pula mengucapkan karena Sunnah
(petunjuk/ajaran Nabi) adalah sesuatu yang menjadi landasan hidup kita sebagai
penganut ajaran Islam. Kita semua sepakat untuk menjunjung tinggi dan
mengagungkan Sunnah dan bersepakat pula bahwa yang merendahkannya berarti
menghinakan Islam dan ajaran Nabi.
Namun jika kita menengok realita yang
ada, apa yang dilakukan kaum muslimin dalam mengagungkan Sunnah Nabi nampaknya
sudah jauh dari yang semestinya. Bahkan keadaannya sangat parah. Tidak
tanggung-tanggung, di antara mereka ada yang menolak dengan terus-terang Sunnah
yang tidak mutawatir1 dan mengatakan hadits ahad bukan hujjah (dalil) dalam
masalah akidah.
Ada pula yang menolak dan mengingkari Sunnah
Nabi secara total dengan berkedok mengikuti Al Qur’an saja. Padahal Al Qur’an
tidak mungkin dipisahkan dari Sunnah. Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil
apa saja yang datang dari Nabi yaitu Sunnahnya.
Bentuk yang lebih parah dari ‘sekedar’
menolak adalah mengolok-olok Sunnah dan orang-orang yang mencoba berjalan di
atasnya. Ada pula yang dengan terang-terangan menolak hadits Nabi karena
dinilai tidak sesuai dengan akal.
Sangat disayangkan sikap-sikap seperti
ini justru sering dimiliki oleh orang-orang yang terjun ke kancah dakwah.
Padahal lisan mereka juga mengatakan bahwa kita wajib mengagungkan Sunnah.
Mengagungkan Sunnah adalah perkara yang
besar dan bukan sekedar isapan jempol. Ia butuh bukti nyata dan praktek dalam
kehidupan. Namun kini keadaannya justru sebaliknya, banyak orang menolaknya.
Nabi telah mengisyaratkan akan datangnya
keadaan ini:
“Sungguh-sungguh aku akan dapati
salah seorang dari kalian bertelekan (tiduran? leyeh-leyeh?) di atas dipannya,
(lalu) datang kepadanya sebuah perintah dari perintahku atau larangan dari
laranganku lalu dia mangatakan: ‘Saya tidak tahu itu, apa yang kami dapatkan
dalam kitab Allah yang kami ikuti.’”(Shahih HR Ahmad, Abu Dawud, At
Tirmidzi dari Abu Rafi’, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’,
7172]
Makna Sunnah Nabi
Yang dimaksud dengan Sunnah Nabi adalah
petunjuk dan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah ?. Di dalamnya mencakup
perkara-perkara yang hukumnya wajib maupun sunnah, yang berkaitan dengan akidah
maupun ibadah dan yang berkaitan dengan muamalah maupun akhlak.
Para ulama Salaf mengatakan bahwa Sunnah
artinya mengamalkan Al Qur’an dan hadits serta mengikuti para pendahulu yang
shalih serta ber-ittiba’ (berteladan) dengan jejak mereka. (Al Hujjah fii
Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’dhimus Sunnah, 18)
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan As Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh dan itu
meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi dan para
khalifahnya baik keyakinan, amalan, maupun ucapan. Dan inilah makna As Sunnah
secara sempurna. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits no. 28)
Itulah yang kami maksud dalam pembahasan
ini sehingga kami tidak terpaku pada istilah Sunnah menurut ahli fikih atau
sunnah menurut ahli ushul fikih atau Sunnah dalam arti akidah, tetapi mencakup
itu semua.
Sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi:
“Wajib atas kalian berpegang dengan
Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin…”(Shahih, HR Ahmad, Abu
Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul
Jami’, 2549]
Perintah Memuliakan Sunnah
Allah berfirman:
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada
kalian maka ambillah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.”
(Al Hasyr: 7)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di
mengatakan: “Perintah ini mencakup prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya
baik lahir maupun batin dan bahwa yang dibawa oleh Rasul maka setiap hamba
harus menerimanya dan tidak halal menyelisihinya. Apa saja yang disebut oleh
Rasul seperti apa yang disebut oleh Allah, tidak ada alasan bagi seorangpun
untuk meninggalkannya dan tidak boleh mendahulukan ucapan siapapun atas ucapan
Rasul.” (Taisir Al Karimirrahman, 851)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul
berarti ia mentaati Allah.” (An Nisa’: 80)
Maksudnya, setiap orang yang taat kepada
Rasul dalam perintah dan larangan berarti ia taat kepada Allah karena Nabi
tidak memerintah atau melarang kecuali dengan perintah dari Allah. Ini berarti
pula terlindunginya Nabi dari kesalahan karena Allah memerintahkan kita untuk
taat kepadanya secara mutlak. Kalau seandainya beliau tidak ma’shum (terjaga
dari salah) pada apa yang beliau sampaikan dari Allah, tentu Allah tidak akan
memerintahkan taat kepadanya secara mutlak dan tidak memujinya. (Taisir Al
Karimirrahman, 189 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/541)
“Dan tidaklah ada pilihan bagi
seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah
perkara pada urusan mereka.” (Al Ahzab: 36)
Ibnu Katsir mengatakan: “Ayat ini umum
pada seluruh perkara yaitu jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum sebuah perkara
maka tidak boleh bagi seorangpun untuk menyelisihinya. Tidak ada peluang
pilihan, ide atau pendapat bagi siapapun di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/498)
Ketiga ayat ini menunjukkan secara jelas
bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi, yakni wajib mengambilnya dan
merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan
Sunnah tersebut sebagai pedoman dalam melangkah melakukan ketaatan kepada
Allah. Hal itu karena Allah jadikan Nabi-Nya sebagai penjelas Al Qur’an
sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan kami turunkan kepadamu Al
Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.”
(An-Nahl: 44)
Selanjutnya kita lihat bagaimana
hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti Sunnah, di antaranya:
Dari Al Irbadh bin Sariyah ia berkata:
“Rasulullah memberikan sebuah nasehat kepada kami dengan nasehat yang sangat
mengena, hati menjadi gemetar dan matapun menderaikan air mata karenanya, maka
kami katakan:’ Wahai Rasullullah seolah-olah ini nasehat perpisahan maka
berikan wasiat kepada kami’, lalu beliau katakan: ‘Saya wasiatkan kalian untuk
bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah
seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan
melihat perbedaan yang banyak, maka wajib atas kalian bepegang teguh dengan
Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin, gigitlah dengan gigi-gigi
geraham kalian dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena
sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At
Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 2549)
Demikian Nabi mewasiatkan kepada para
sahabat beberapa wasiat penting di antaranya perintah untuk berpegang teguh
dengan Sunnahnya dan Sunnah para Khulafa Ar Rasyidin. Bahkan beliau menyuruh
untuk menggigitnya dengan gigi kita yang paling kuat. Di masa sahabat saja
Rasulullah telah berwasiat demikian, lebih-lebih di zaman sepeninggal beliau di
mana kondisi masyarakat dari sisi keagamaan semakin buruk dengan munculnya
berbagai perselisihan dan bid’ah pada perkara-perkara yang prinsipil.
Datang beberapa orang kepada istri Nabi
menanyakan amalan yang dilakukan oleh Nabi di saat sendirian. Setelah mendengar
jawabannya merekapun menganggap diri mereka sangat jauh dari apa yang dilakukan
oleh Nabi sehingga masing-masing menetapkan azamnya.
Salah satu dari mereka berkata: “Saya
tidak akan menikahi wanita.” Yang lain mengatakan: “Saya tidak akan makan
daging,” dan yang lain mengatakan: “Saya tidak akan tidur di kasur.” Sampailah
berita itu kepada Nabi maka beliaupun berpidato dengan memuji Allah dan
menyanjung-Nya lantas berkata:
“Mengapa ada orang–orang yang
mengatakan demikian dan demikian, (padahal) saya bangun shalat malam dan saya
juga tidur, saya puasa dan saya terkadang tidak berpuasa, dan saya juga
menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan Sunnahku, dia bukan
dari golonganku.” (Shahih, HR Muslim, 9/179)
Coba kita amati kisah ini. Beberapa
sahabat datang dengan maksud baik, lalu mereka berazam (berkeinginan kuat)
untuk meninggalkan beberapa kenikmatan dengan tujuan memperbanyak ibadah
sehingga bisa mendekati amalan Nabi. Namun pada niatan itu mengakibatkan
ditinggalkannya beberapa Sunnah, petunjuk dan jalan Nabi yaitu menikah,
memberikan hak jasmani dengan tidak puasa setiap hari dan tidak bangun
sepanjang malam walaupun untuk ibadah.
Maka Nabi menganggap hal itu tidak baik
sehingga mengatakan: “Barangsiapa yng benci terhadap Sunnahku maka bukan dari
golonganku.”
Sekedar niat baik saja tidak cukup bila
tanpa disertai cara yang baik pula. Kalau keadaan mereka saja seperti ini lalu
bagaimana dengan yang sengaja meninggalkan Sunnah Nabi dengan niat jelek? Lalu
bagaimana lagi yang menghina Sunnah Nabi atau bahkan mengingkarinya?!
Demikian ayat dan hadits mendudukkan
Sunnah Nabi yaitu pada tinggkat yang sangat tinggi. Oleh karenanya kita dapati
para sahabat Nabi benar-benar menghargai dan menjadikannya sebagai panutan
hidup bahkan sangat takut jikalau mereka menyelisihi Sunnah sehingga
menyebabkan sesatnya mereka dari jalan yang lurus.
Kita dapati Abu Bakar Ash Shiddiq
mengatakan: “Saya tidak meninggalkan sesuatu yang Rasulullah melakukannya
kecuali aku pasti melakukannya juga dan saya takut jika saya tinggalkan sesuatu
darinya lalu saya sesat.”
Wahai saudaraku…orang yang paling jujur
(Abu Bakar) khawatir terhadap dirinya untuk tersesat jika menyelisihi sesuatu
dari jalan Nabi. Maka bagaimana jadinya dengan sebuah jaman yang penduduknya
mengolok-olok Nabi mereka dan perintah-perintahnya bahkan berbangga dengan
menyelisihi dan mengolok-oloknya.
Kami memohon kepada Allah perlindungan
dari perbuatan salah dan memohon keselamatan dari amal yang jelek. Demikian
dikatakan oleh Ibnu Baththah, seorang ulama akidah yang hidup pada abad keempat
hijriyah dalam kitab Al Ibanah,1/246, dan Ta’dhimus Sunnah, 24. Lalu bagaimana
jika beliau hidup di jaman kita? Apa yang kira-kira akan beliau katakan?
Seorang tabi’in bernama Abu Qilabah
mengatakan: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan:
‘Tinggalkan kami dari ini dan datangkan Kitabullah.’ Maka ketahuilah bahwa dia
sesat.”(Tabaqat Ibni Sa’ad, 7/184, Ta’dhimus Sunnah, 25)
Demikian pula yang enggan menerima
Sunnah Nabi karena lebih cenderung kepada pendapat seseorang maka dia berada
dalam bahaya besar. Seperti dikatakan Abdullah bin Abas ketika datang kepadanya
seseorang yang yang seolah-olah mengadu Sunnah Nabi dengan pendapat Abu Bakar
dan Umar maka Abdulllah bin Abbas mengatakan: “Hampir-hampir turun kepada
kalian bebatuan dari langit, aku katakan Rasullullah berkata demikian dan
kalian katakan berkata Abu Bakar dan Umar demikian?!” (Shahih, riwayat Al
Bukhari)
Maka sangat mengherankan kalau seseorang
tahu Sunnah lalu meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lain sebagaimana
dialami oleh Imam Ahmad: “Saya merasa heran dari sebuah kaum yang tahu sanad
hadits dan keshahihannya lalu pergi kepada pendapat Sufyan (maksudnya Sufyan
Ats Tsauri-red) padahal Allah berfirman: Maka hendaklah berhati-hati orang yang
menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang
pedih (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah syirik.”
(Fathul Majid, 466).
Demikian pula suatu saat Imam Syafi’i
ditanya tentang sebuah masalah maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini
diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi. Maka si penanya mengatakan:
“Wahai Imam Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka
beliau langsung gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan membawaku
dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi
kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan
penglihatanku.” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’dhimus Sunnah, 28).
Dalam kesempatan lain beliau ditanya
dengan pertanyaan yang mirip lalu beliau gemetar dan menjawab: “Apakah engkau
melihat aku seorang Nasrani? Apakah kau melihat aku keluar dari gereja? Ataukah
engkau melihat aku memakai ikat di tengah badanku (yang biasa orang Nasrani
memakainya-red)? Saya meriwayatkan hadits dari Nabi lalu saya tidak
mengambilnya sebagai pendapat saya?!” (Miftahul Jannah, 6)
Demikian tinggi nilai Sunnah Nabi dalam
dada mereka sehingga rasanya sangat mustahil mereka meninggalkannya. Bahkan
tidak terbayang ada seorang muslim yang berani meninggalkan Sunnah Nabi yang
telah diketahui.
Pahala bagi Orang yang Berpegang dengan Sunnah Nabi
Karena pentingnya mengagungkan Sunnah
Nabi sekaligus beratnya tantangan bagi yang mengagungkannya maka Allah sediakan
pahala yang besar bagi mereka yang berpegang teguh dengannya dan menjunjungnya
tinggi-tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada
hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi
yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima
puluh.” Seseorang bertanya: “Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah” Rasulullah
menjawab: “Pahala limapuluh dari kalian.” (Shahih, HR Abu Dawud, At
Tirmidzi lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494)
Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Islam berawal dengan
keasingan dan akan kembali kepada keasingan sebagaimana awalnya maka maka
bergembiralah bagi orang-orang yang asing.” Rasulullah ditanya: “Siapa mereka
wahai Rasulullah?” Jawab beliau: “Yaitu yang melakukan perbaikan ketika manusia
rusak.” (Shahih HR Abu Amr Ad Dani dari sahabat Ibnu Mas’ud, lihat
Silsilah Ash Shahihah no. 1273)
Demikian pula Allah menjamin hidayah
bagi orang-orang yang mengikuti Nabi dalam firman-Nya:
“Dan jika kalian mentaatinya niscaya
kalian akan mendapatkan hidayah.” (An-Nur: 54)
Hidayah untuk menempuh jalan yang lurus
baik dengan ucapan atau perbuatan, di mana tidak ada jalan menuju kepada
hidayah kecuali dengan taat kepada Rasulullah. Adapun tanpa itu maka tidak
mungkin, bahkan mustahil (Taisir Al Karimirrahman, 572-573).
Semakna dengan ayat itu hadits Nabi yang
berbunyi:
“Sesungguhnya setiap amalan itu ada masa
giatnya dan setiap giat itu ada masa jenuhnya maka barangsiapa yang jenuhnya
itu kepada Sunnahku berarti ia mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang masa
jenuhnya itu kepada selainnya maka ia binasa.” (Shahih, Al Baihaqi dalam
Syu’abul Iman dari Ibnu Amr, lihat Shahihul Jami’ no: 2152)
Selama seseorang berada di atas Sunnah
Nabi maka dia tetap berada di atas istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian
berarti ia telah melenceng dari jalan yang lurus sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Umar: “Manusia tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka
mengikuti jejak Nabi.” ( Riwayat Al Baihaqi, lihat Miftahul Jannah no.197).
‘Urwah mengatakan: “Mengikuti
Sunnah-Sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat Al Baihaqi,
Miftahul Jannah no: 198)
Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin
mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas
jejak Nabi maka dia berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat Al Baihaqi,
Miftahul Jannah no. 200)
1) Hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang banyak dan mustahil mereka
sepakat untuk berdusta atau kebetulan sama-sama berdusta sedang hadits ahad
adalah yang selain itu. Ahlussunnah berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih
harus diterima dan diamalkan. (lihat An Nukat ‘Ala Nudzhatinnadhar, 53-57)
TENTANG PENULIS
Nama : Mohammad Rusdi
Alamat asal : Rt 04 Rw 06 Desa Pamulihan Kec. Larangan
Kab. Brebes Jawa Tengah
Hp : 089686813078
e-mail : mohammadrusdi21@gmail.com
no. Rekening : 584601009785535 an kanto BRI Cabang Brebes
Unit Larangan
Langganan:
Komentar (Atom)